Senin, 22 Oktober 2012

Anger Management


Anger Management
          Hari itu adalah saat yang paling membuat hati saya kesal.  Bagaimana tidak, secara sepihak seseorang telah menuduh saya melakukan sesuatu tanpa sedikitpun melakukan konfirmasi akan kebenarannya.  Sedih, marah dan kecewa bercampur menjadi satu atas fitnah itu.  Awalnya ketika mendengarnya, saya berpikir bahwa mungkin orang tersebut tidak mengerti.  Namun, ketika dia sudah mengumbarnya kepada orang banyak, wajar rasanya kalau saya bereaksi keras!.  Marah dan protes itu yang saya lakukan sebagai wujud reaksi terhadap masalah tersebut. 
            Sebagai seseorang yang “ekspresif” biasanya saya memang tidak mampu menyimpan apapun yang saya rasakan.  Kemarahan dan kekesalan saya lampiaskan melalui “update status” di media social.  Saat itu saya menulis “Istighfar dan berwudhu – Kiat menahan amarah”.  Saya ingin agar orang lain tahu apa yang saya rasakan dan bagaimana saya menyikapinya.  Alhasil, beberapa teman merespon status yang saya tuliskan tersebut.  Ada yang mendukung, ada yang menasihati dan ada pula yang ingin tahu lebih dalam terkait status yang saya tuliskan.

Saya merasa beruntung, karena memiliki teman-teman yang luar biasa.  Dengan mereka merespon status saja, saya sudah merasa sangat diperhatikan.  Terlebih lagi, mereka juga menyampaikan simpati dan saran bagaimana menyikapinya setelah mereka mengetahui permasalahan yang saya hadapi.  Perhatian teman-teman, membuat saya teringat pada suatu film yang berjudul “Anger Management”.  Dalam film itu diceritakan bagaimana si tokoh utama dirundung berbagai masalah yang membuatnya “naik darah” alias marah.  Sang tokoh utama dikondisikan pada suatu keadaan, sehingga seolah-olah dia harus ikut dalam kelas “terapi” untuk mengatasi amarah.  Berkat dukungan para sahabat-sahabatnya sang tokoh utama akhirnya berhasil mengelola kemarahannya.
 
            Dari kisah film tersebut, saya belajar bahwa rasa marah memang boleh ada.  Namun  perlu disadari bahwa kita harus mengelolanya dengan baik, agar tidak mendatangkan label negatif bagi diri kita.  Peran keluarga, teman dan orang sekitar kita sangat penting dalam mendukung terciptanya hal positif baik bagi diri kita sendiri maupun sebaliknya.  Saya sangat berterima kasih pada teman-teman dan keluarga yang telah memberikan aura positif pada permasalahan yang saya hadapi.  Sehingga pada akhirnya saya berhasil menanamkan keyakinan diri bahwa “siapa yang menanam, maka dia yang akan menuai”.  Artinya, jika ada orang yang menebar fitnah dan berbicara tanpa bukti, maka orang tersebut yang akan menanggung akibat atas perbuatannya.  Biarkan tangan Tuhan yang akan berperan dalam hal ini.  Kita tidak perlu meminta Tuhan membalas perbuatannya, karena Tuhan tahu pasti apa yang akan diberikan kepada hambaNYA. 

Who is called "A Leader"?


Who is called A Leader?
            Hirarki dalam suatu organisasi kadang bisa menciptakan jarak antar karyawan.  Mereka yang ber-gelar atasan, sering kali merasa berhak untuk mengatur apa pun tanpa perlu diskusi.  Sedangkan si bawahan merasa hal tersebut tidak adil, karena atasan di anggap tidak mengerti apa yang mereka inginkan.  Pada akhirnya hubungan antara atasan dan bawahan menjadi tidak solid. 
Setiap karyawan pasti berharap mereka memiliki atasan yang bisa menjadi teladan dan partner dalam bekerja.  Sering kita dengar bahwa ada seorang atasan yang berperilaku  bukan sebagai Leader.  Sejatinya, apa pun yang dilakukan seorang leader dapat menginspirasi orang lain.                                                                                                  Seperti yang disampaikan oleh John Quincy Adam (Presiden USA ke-6)…..
“If your actions inspire others to dream more, learn more, do more
And become more….You are A Leader”
Dalam kutipannya tersebut sangat jelas digambarkan bahwa seseorang bisa disebut pemimpin, jika segala tindakannya bisa membuat orang lain punya mimpi lebih dan lebih.  Selain itu, bisa membuat orang lain belajar dan berbuat lebih banyak hingga akhirnya bisa menjadi lebih berarti.

Lantas, bagaimana dengan atasan yang justru memiliki karakter yang berlawanan dengan seorang leader? Apakah mereka bisa kita sebut pemimpin? Saat dimana kita tidak mendapat dukungan dari atasan, apakah mungkin mereka kita teladani?.  Kita tidak dapat memilih atasan, sehingga apapun kondisinya kita harus tetap hormat dan menghargainya.  Yang terpenting adalah bagaimana kita mampu membuka jalur komunikasi yang baik dan nyaman, sehingga sebagai bawahan kita dapat menyampaikan pendapat ataupun harapan kepada sang atasan.  Begitu pula sebaliknya, setiap bawahan juga harus siap menerima segala masukan dan arahan yang diberikan oleh atasan karena itu semua demi kemajuan bersama secara tim

Teamwork


Teamwork
          Membuat hubungan yang nyaman antar karyawan di kantor selayaknya keluarga, pasti jadi dambaan kita semua.  Bagaimana tidak? Lha wong kantor itu sudah seperti rumah kedua buat kita.  Jadi, kalau suasananya nyaman dan bersahabat maka tidak ada rasa sungkan atau malu untuk menyampaikan pendapat antara satu dengan lainnya.   Hubungan kerja juga akan lebih harmonis.  Dampaknya tentu saja mampu meningkatkan kinerja dan produktivitas masing-masing karyawan.
Setiap individu memiliki latar belakang yang berbeda, sehingga perlu adanya proses untuk menyamakan persepsi dalam menyikapi banyak hal.  Tujuannya agar budaya yang ada dalam suatu organisasi, bisa dipahami, disepakati dan diterapkan bersama.  Jika dalam suatu unit kerja sudah terjalin suatu sinergi yang kuat, pasti unit tersebut akan siap untuk saling mendukung antar satu dengan lainnya. It’s called teamwork!!

Untuk dapat menjaga keutuhan dan kekompakan dalam suatu team, minimal ada 2 hal yang perlu dijadikan kunci utama yaitu komunikasi dan apresiasi.  Keduanya akan menjadi kunci yang sempurna jika dibungkus dengan nilai “kejujuran”.  Jika komunikasi dilandasi dengan kejujuran, maka pesan yang disampaikan akan terasa nyaman dihati kedua pihak yang saling berkomunikasi.  Begitu pula dengan apresiasi, jika disampaikan dengan jujur dan tulus maka akan terasa bermakna.  Kritik akan terasa sebagai perbaikan.  Pujian akan terasa sebagai pemacu semangat.  Harmoni yang indah dalam kerjasama tentunya akan memuaskan bagi pihak-pihak yang terlibat.

Memilih Warna Bahagia (part 2)


Memilih Warna Bahagia (part 2)
            Jika menjadi wanita bekerja adalah pilihan, apakah menjadi seorang ibu rumah tangga juga pilihan?. Apa ini merupakan “kodrat” yang harus diterima oleh seorang wanita?. Aaaaah….kita memang tidak pernah bisa lepas dari segala pilihan di dunia ini.  Selain profesi, kita pasti sering sekali dihadapkan pada pilihan-pilihan yang pada akhirnya menjadi bagian dalam proses kita menjalani kehidupan. 
Ingatkah saat kita harus memutuskan mau bersekolah dimana? Sekolah negeri atau swasta? Lanjut kuliah atau langsung kerja? Kerja atau wiraswasta? Menikah atau stay jomblo?.  Terkait pilihan hidup, kita tidak akan pernah sampai pada dimensi benar atau salah (walau hidup itu mirip sekali dengan ujian, benar khan?). Setiap individu melihat suatu pilihan dari ribuan sudut pandang dengan ribuan alasan yang melatarbelakanginya.  Jadi apapun pilihan hidup kita, semua berpulang pada bagaimana kita menjalani dan melihatnya
            Lantas, bagaimana dengan Yuni yang memilih menikah di usia muda? Pilihan yang sudah ditetapkan sejak ia duduk di sekolah menengah pertama alias SMP, hmm..mau tau kenapa? karena di situlah ia bertemu Bimo, laki-laki yang telah membuatnya jatuh hati pada pandangan pertama.  Kisah kasih mereka diwarnai dengan putus nyambung, namun cinta yang kuat mampu membawa mereka pada pernikahan. 
Awalnya, Bimo tidak keberatan saat Yuni memilih tetap bekerja walau mereka telah menikah.  Namun, hal tersebut berubah ketika mereka memiliki buah hati “kembar” pertama mereka. Bimo memutuskan agar Yuni berhenti bekerja dan  fokus pada kedua buah hati.  Semua berjalan sempurna karena keputusan yang diambil telah disepakati bersama.  Keduanya menikmati perannya masing-masing dalam membina biduk rumah tangga kecil mereka. 
Hari itu, usia perkawinan Yuni dan Bimo memasuki tahun ke-6.  Akan menjadi hari yang paling membahagiakan mereka tentunya. Namun tak disangka tak diduga, ternyata justru berita yang sangat me-luluhlantak-kan hati Yuni yang dia terima.  Bimo ditangkap polisi karena dugaan penyalahgunaan dana pembangunan gedung di kantornya.  Hati Yuni kian terpuruk ketika ia menyaksikan Bimo, pria yang sangat dicintainya, terduduk lesu dan muram di lantai penjara saat dia datang menjenguk suaminya.  Tiba-tiba saja tangisan Yuni pecah saat Bimo menggenggam tangannya dan mengucapkan maafnya berkali-kali sambil berlutut dihadapan Yuni dari balik jeruji penjara.  Yuni tidak pernah menyangka bahwa Bimo bisa melakukan hal itu.  Bimo yang ia kenal selama ini adalah sosok pria yang bertanggung jawab dan jujur sehingga tidak mungkin Bimo  melakukan hal seperti yang dituduhkan itu. 
Malang tak dapat dicegah, untung tak dapat diraih.  Setelah melalui masa persidangan yang melelahkan akhirnya vonis pengadilan memutuskan Bimo harus menjalani hukuman dengan masa pidana penjara selama 5 tahun.  Sejak masa persidangan hingga saat di penjara, Yuni tidak pernah sedikitpun meninggalkan Bimo sendiri.  Hampir setiap hari Yuni selalu menyempatkan hadir mengunjungi Bimo untuk memberinya semangat dan dukungan agar Bimo mampu menghadapi cobaan ini dengan tabah dan tawakal.  Yuni yakin bahwa Bimo hanyalah korban dari “kejahatan bersama” yang dilakukan oleh rekan-rekan kantornya. Namun karena Bimo berperan sebagai bendahara proyek tersebut maka sepenuhnya tanggung jawab penggunaan dana berada di tangan Bimo.
Kini, Yuni memutuskan untuk kembali bekerja demi menyambung kehidupan dan membesarkan dua buah hati mereka.  Walau menjalani kehidupan yang timpang tanpa adanya pendamping di sisinya, tidak membuat Yuni terjerat dalam lubang kesedihan yang berlarut-larut.  “Hidup harus terus berjalan, cobaan bisa datang kapan saja silih berganti, namun kita tidak boleh kehilangan rasa bahagia dan syukur kita atas nikmat Tuhan lainnya yang telah diberikan kepada kita”.  Itulah yang Yuni katakan pada saya, ketika saya datang menengoknya untuk mengetahui bagaimana kabarnya setelah Bimo berada di penjara. 
Saya kembali dipertontonkan kisah indah yang menurut saya sangat luar biasa.  Kisah tentang bagaimana kuatnya cinta dapat mempersatukan dua insan manusia baik saat bahagia maupun saat terpuruk.  Kisah tentang kesetiaan seorang istri kepada suaminya baik pada saat dia sukses maupun saat gagal dan kisah bagaimana seorang mahluk Tuhan mampu tetap bahagia dan bersyukur terhadap nikmat dan ujian yang Tuhan berikan. 
Saya kagum, bangga dan sekaligus terharu baik kepada Yuni maupun Bimo.  Mereka, masih tetap mampu menyuguhkan kondisi layaknya sebuah keluarga bahagia walau kehidupan mereka dipisahkan oleh jeruji penjara.  Saya tak kuasa menahan air mata saat saya menuliskan kisah ini. Mereka adalah potret keluarga yang sesungguhnya walaupun hidup mereka serba kekurangan. Mereka memiliki bahagia yang mungkin tidak dirasakan oleh keluarga kaya yang utuh berkumpul dalam satu rumah tapi tidak disatukan dengan cinta.  “Yuni,Bimo, kalian berhak untuk bahagia dan ternyata kalian memang sudah memilih untuk bahagia dengan menjalani apa yang sudah menjadi ketetapan Tuhan dengan penuh kesabaran dan ketabahan.”.  Saya sangat setuju, bahwa bahagia itu hanya diri kita-lah yang bisa menentukannya.  Bahwa arti bahagia bagi setiap orang tidak akan pernah sama karena merekalah yang memilih warna bahagia mereka sendiri.

Memilih Warna Bahagia (part1)


Memilih Warna Bahagia (part 1)
           Dalam menjalani kehidupan ini, kita semua pasti pernah merasakan bahagia.  Bisa bahagia untuk diri sendiri, keluarga, teman ataupun bahagia atas nikmat Tuhan.  Biasanya sih, ukuran bahagia setiap orang itu berbeda tergantung situasinya masing-masing.  Untuk saya yang seminggu bekerja full time, libur pastinya menjadi sesuatu yang membahagiakan.  Tapi untuk mereka yang memang setiap harinya sudah libur alias berada dirumah, pasti kadar bahagianya berbeda.  Semuanya tergantung bagaimana sudut pandang masing-masing individu yang mengalaminya.
            Kadang kita sering melihat kehidupan orang lain rasanya super bahagia.  Sudah cantik, kaya bahkan pintar pula, seolah-olah dunia tuh sudah dalam genggamannya.  Padahal bisa jadi itu yang nampak diluarnya saja, karena kita tidak akan pernah tahu apa yang benar-benar mereka rasakan.  Pada dua kisah berikut ini, kita bisa memaknai bahwasanya bahagia itu kita sendirilah yang menentukannya. Kita sendiri yang akan memilih warna bahagia dalam hidup kita.
Vera, seorang wanita bekerja paruh baya yang memasuki masa jelang pensiunnya.  Dia masih terlihat cantik, enerjik dan terlihat jelas dia merawat kondisi fisiknya secara sempurna (bikin saya iri !!).  Everything is perfect buat Vera apalagi ditambah jabatan VP alias Vice President di sebuah bank besar.  Siapapun yang melihatnya pasti ingin sekali menjadi se-sosok Vera (termasuk saya !) 
Tapi apakah Vera juga memandang hidupnya se-sempurna seperti yang orang lain lihat?.  Apakah dia sebahagia seperti yang orang lain pikirkan?.  Apakah dia bisa memiliki semua yang dia mau dalam hidupnya seperti yang orang lain duga?.  Jawabnya ”tidak” bagi Vera.  Hingga diusianya yang kini 53 tahun, dia belum juga menemukan pasangan hidup tempat dia berbagi suka dan duka.  Pengkhianatan yang dilakukan kekasihnya 30 tahun silam sangat membekas di hatinya, hingga ia memutuskan untuk tidak menikah dan memilih pekerjaanya sebagai pengganti belahan jiwanya. 
Vera adalah seorang anak tunggal dari keluarga “broken home”. Ayahnya meninggalkan dia dan sang ibu, saat hatinya tertambat pada sekertaris pribadinya di kantor.  Marah dan dendam kerap mencuat tatkala ia teringat kisah pilunya di masa lalu. Benci dan kesal saat ia tidak berdaya menghalau semua itu.  Hingga akhirnya, Vera memilih untuk mencurahkan segala tenaga dan pikirannya pada pekerjaanya secara all out.
Dari Vera saya belajar, bahwa hidup seseorang itu tidak seindah seperti yang kita lihat.   Hidup itu sejatinya bukan pada apa yang nampak, namun pada hikmah dari setiap peristiwa yang terjadi.  Dendam dan marah hanya akan berujung pada rasa itu sendiri.  Andai Vera bisa sedikit berdamai dengan hatinya, andai dia mampu memaafkan sang Ayah dan mantan kekasihnya pasti kehidupan yang lebih tenang dan bahagia.  Minimal bisa ia menikmatinya bersamaan dengan kelimpahan materi yang ia dapatkan. 
Saya berharap agar Tuhan berkenan melunakkan hatinya.  Sehingga “maaf” berduyun-duyun akan hadir mengisi relung-relung hatinya yang kosong tanpa cinta.  Semoga Vera bisa merasakan cinta, bahagia dan rasa syukur atas kehidupan yang dia miliki.  Saya sadar betul bahwa itulah jalan hidup yang Vera pilih.
Tidak pernah ada kata terlambat.  Hanya kita sendiri yang bisa merubah kehidupan yang sudah kita pilih. Kemarin, sekarang atau esok hanyalah dimensi waktu.  Namun pilihan untuk bahagia hanya kita yang bisa memulainya sejak sekarang.  Harapan ini, saya juga tujukan untuk diri saya sendiri.

Nikmat Yang Tak (Sempat) Terhitung


Nikmat Yang Tak (Sempat) Terhitung
  Apa sih kira-kira yang ada di benak kita saat mendengar kata “Bonus”?.  Mungkin ada yang sudah merancang mimpi untuk membeli “ini” dan “itu” walaupun duitnya saja belum di tangan (hehee…curhat colongan).  Mungkin ada juga yang sudah berencana mau berwisata baik ke luar maupun ke dalam negeri.  Atau ada pula yang ingin ditabung untuk persiapan masa depan.  Waahh, rasanya kalo diminta menuliskan hal-hal indah pasti banyak sekali yang ada di benak kita khan?
Moment saat kita menerima bonus biasanya diiringi ekspresi yang beraneka ragam.  Ada yang senang ada yang sedih, ada yang bersyukur ada yang mengeluh, ada yang serius ada yang cuek (iiih…masa sih ada yang begitu? mungkin hatinya bukan pualam yak! heheee).  Tapi itulah cuplikan kisah yang terjadi.  That’s life !!.
Bonus mengingatkan perjumpaan saya dengan seorang office girl.  Kisah itu menjadi sesuatu yang sangat luar biasa, karena telah membuat  saya mengerti bagaimana caranya memaknai sebuah nikmat.  Hingga saat ini pun  saya selalu meneteskan air mata jika mengingatnya.
Kala itu, saya marah dan kecewa pada atasan saya terkait promosi yang dijanjikan.  Dengan segala jerih payah dan usaha yang dilakukan, saya merasa sangat berhak akan promosi itu.  Bagaimana tidak?, kantor sudah seperti rumah kedua.  Selain itu, tugas apapun yang diberikan selalu bisa saya selesaikan tepat waktu dan sempurna (menurut ukuran saya lho…).  Jadi rasanya hal itu cukuplah untuk dijadikan bahan pertimbangan untuk promosi saya.  
Saya melampiaskan rasa kesal dan marah dengan “bersemedi” di musholla kecil di pojok lantai basement yang gelap (hmm…masih syukur bisa ada musholla khan? So, do not complain!).  Disana saya menangisi ketidakberdayaan atas nasib yang saya terima.  Tiba-tiba suara pintu berderit dan dari balik pintu muncul seorang wanita muda (mungkin berumur sekitar 20 tahun laah..).  Ia mengucapkan salam “Assalamualaikum”. Saya buru-buru menyeka air mata  (karena takut ketahuan sedang menangis hehehe…) sambil menjawab “Waalaikumsalam”.  Dia melemparkan senyumnya dan mohon izin untuk ikut sholat.
Ketika selesai berdoa, wajahnya berpaling kepada saya.  Sambil tersenyum ia berkata “Mbak lagi sedih yaa….kok matanya sampai sembab begitu?”.  Saya balas tersenyum dan menjawab sapaanya dengan lirih “nggak kok mbak….cuma ingin merenung saja atas nasib yang menimpa saya”. 
Tanpa diminta, wanita itu bercerita kalo dia adalah seorang office girl baru di kantor ini, “baru dua minggu katanya.  Dengan nyamannya dia berkisah bahwa  perusahaan outsourcing tempatnya bekerja, memenuhi permintaannya untuk pindah lokasi kantor agar dekat dengan rumah. Dia bersyukur sekali untuk itu.  Bahkan dalam ceritanya, tanpa sengaja dia juga mengisahkan bahwa dia baru saja menerima bonus dan kenaikan gaji.  Hmmm…pasti gede niiih…sampai cerita segala” ungkap saya dalam hati. 
Namun dugaan saya sama sekali tidak tepat.  Dia mengatakan bahwa dia baru saja menerima bonus sebesar dua ratus ribu rupiah dan kenaikan gaji sebesar seratus ribu rupiah.  Mata indahnya berkaca-kaca saat dia bilang bahwa kini dia sudah mampu untuk membelikan anaknya susu secara rutin.  Tidak sama seperti bulan-bulan sebelumnya dimana gajinya habis buat ongkos. Dulu dia harus membagi uangnya untuk membeli susu dan makannya sehari-hari.  Dia sangat bersyukur atas karunia yang Allah berikan padanya, sehingga dia juga rela menyisihkannya untuk sedekah  anak Yatim. 
Seperti tersambar petir di siang bolong rasanya hati saya saat itu.  Dengan uang yang hanya sejumlah itu mbak office girl tersebut mampu mengungkapkan rasa syukurnya yang luar biasa kepada Sang Pencipta atas nikmat yang diterimanya.  Sedangkan saya? saya sibuk menangisi nasib yang menurut saya sedang dalam masa “paling sial”. Padahal jika dibandingkan dengan nilai bonus dan kenaikan gaji yang saya terima, harusnya saya lebih bersyukur.  Tapi kemana perginya rasa syukur saya itu?.
Ya Tuhaaan….hati saya langsung bergemuruh.  Bagaimana bisa,  nikmat yang sudah Allah berikan pada saya justru membuat saya “lupa” akan namanya bersyukur. Sedangkan mbak office girl  mampu untuk tetap  bersyukur. Aaaaah…maluuuu…rasanya.
Hal yang lebih membuat saya lebih terjerembab lagi ke dasar bumi atas kisah itu adalah saat dia bilang bahwa dirinya rela untuk tidak naik gaji ataupun dapat bonus asalkan Allah tidak memberikan sakit kepada anaknya.  Menurutnya, percuma saja jika naik gaji tapi anaknya sakit.  Akhirnya kenaikan gaji itu juga untuk berobat anaknya.  Setelah dia selesai mengatakan itu…saya langsung peluk erat-erat dia sambil menangis keras dan berkata “makasiiiih mbaaak….makasiiiih mbak….” secara berulang-ulang.
Rasa terima kasih  dan tangisan itu adalah wujud kesadaran saya karena mbak office girl sudah mengingatkan saya bahwa begitu banyak nikmat Allah yang tak (sempat) terhitung oleh saya.  Betapa saya hanyalah makhluk Tuhan yang tak tahu balas budi atas setiap nikmat yang Tuhan titipkan pada saya.
Hari itu adalah hari yang tidak pernah saya lupakan hingga detik ini.  Mbak office girl telah mengajarkan saya bahwa hidup itu bukan materi ukurannya.  Bahwa bahagia itu kita sendiri yang bisa menciptakannya. Bahwa banyak sekali nikmat Tuhan yang sama sekali tidak kita sadari sudah kita miliki sangaaaat banyaaakkk….hingga tak terhitung.  Disetiap doa, tidak pernah lupa saya selalu meminta agar Allah berkenan memelihara hati saya untuk selalu diliputi rasa syukur yang besar atas semua nikmat yang DIA berikan.

 

Rumahku, Surgaku


Rumahku, Surgaku
          Rumah adalah Surga ketika….
Damai saat didalamnya
Nyaman saat dekat dengannya
Rindu saat jauh darinya
          Bahagia saat berkisah tentangnya

Menciptakan rumah menjadi hunian yang nyaman adalah impian.  Apapun bisa dilakukan untuk mewujudkannya.  Apakah rumah yang indah dan mewah selalu nyaman ?.  Hmm…rasanya kita semua pasti setuju bahwa nyaman bukanlah pada apa yang tampak, tapi pada apa yang dirasakan oleh penghuni rumah. 

Idealnya, penghuni rumah adalah sebuah keluarga yang lengkap dengan sosok Ayah, Ibu dan anak-anak.  Masing-masing menjalankan perannya sesuai yang diharapkan.  Ayah bekerja untuk menjemput rezeki di luar rumah.  Ibu menjadi pengelola rumah yang handal dan anak-anak menempa ilmu di sekolah.  Semuanya berupaya untuk saling melengkapi satu sama lain dalam mencapai tujuan yang sama sebagai sebuah keluarga.
Lantas, bagaimana jika peran tersebut tidak berjalan semestinya?  Misalnya, seorang ibu yang seharusnya berada dirumah justru menjalankan peran ganda sebagai pencari nafkah. Apakah kemudian keluarga ini akan kehilangan impiannya?  Apakah kosongnya peran ibu dirumah membuat keluarga tidak bahagia? Hmmm…pertanyaan yang tidak mudah untuk dijawab, karena setiap keluarga punya latar belakang masing-masing.  Sehingga jawaban terhadap pertanyaan itu pun bisa bervariasi.
 
Sejatinya, kehidupan rumah tangga adalah suatu proses.  Sehingga mungkin saja memang di awalnya sebuah keluarga akan mengalami hal yang tidak nyaman ketika terjadi kekosongan peran dalam keluarga.  Namun pada akhirnya, setiap anggota keluarga akan beradaptasi pada kondisi yang ada.  Hal tersebut terjadi karena didasari pada suatu komitmen yang kuat dalam keluarga.
Tidak hadirnya sosok ibu secara fisik dirumah tidak akan menjadi masalah apabila dipersiapkan dengan baik.  Ibu harus berupaya untuk memberikan perhatian, waktu dan tenaga secara “lebih” kepada anggota keluarga.  Begitu pula dengan anggota keluarga lainnya.  Ayah dan anak-anak pun harus “rela” menerima keadaan yang tidak sempurna.  Hingga pada akhirnya, tercipta suatu “understanding condition” antar anggota keluarga.  Anak-anak akan tetap bisa merasakan keberadaan ibu saat mereka pulang sekolah walau hanya menjumpai “catatan kecil penuh pesan” di pintu kulkas.  Ayah bisa tetap menikmati hasil masakan ibu walau harus rela menyantapnya lebih larut.  Dalam hal ini,  tanpa terasa kuantitas telah tergantikan dengan kualitas.
Kualitas adalah kunci penting dalam mengimbangi ketidaksempurnaan peran dalam suatu keluarga.  Kualitas juga mampu menjadi perekat dalam keluarga saat seluruh anggota sibuk dengan perannya masing-masing.  Setiap anggota keluarga wajib memegang teguh “komitmen” untuk menjalankan perannya dengan baik agar kualitas tetap menjadi prioritas.
Saat ini, banyak wanita menjalani peran ganda sebagai ibu rumah tangga dan pekerja.  Umumnya, para wanita tersebut sudah memulainya sejak awal pernikahan.  Peran mereka menjadi tidak mudah ketika mulai memiliki anak.  Rasa khawatir yang besar terhadap buah hati, membuat rumah orang tua menjadi “TPC” alias tempat penitipan cucu ( heheee….termasuk saya).  Diantara mereka, ada yang setiap pagi harus memboyong anak-anaknya ke TPC dan akan menjemputnya di sore atau malam harinya. 
Situasi itu masih lebih beruntung dibandingkan harus menitipkan anak ke saudara, tetangga bahkan hingga ke yayasan penitipan anak.  Hebatnya, ternyata mereka semua masih bisa menikmati kehidupan tersebut (walau tidak jarang ada juga yang mengeluh siih...).  Komitmen yang kuat rasanya memang menjadi hal terpenting dalam suatu keluarga.  Dukungan dari semua anggota keluarga mutlak diperlukan demi terciptanya kenyamanan.   Sehingga “Rumahku, Surgaku” bukan lagi menjadi impian semata.

Road to Success ala Dahlan Iskan


Road to Success ala Dahlan Iskan!!

“Kayak mimpiiii…” cuma itu yang terucap ketika bertemu dengan pak Dahlan Iskan (Meneg BUMN), salah satu tokoh idola saya. Yes !! dream come true.  Selain bertatap muka saya berkesempatan untuk bertanya bagaimana beliau bisa menjadi sosok yang begitu luar biasa, from nothing to something, from zero to hero.  Dengan rendah hati beliau menyampaikan “saya hanya melakukan apa yang semestinya dilakukan, bukan karena penilaian orang”.  Saya tertegun mendengar jawaban beliau.  Sangat jauh dari sombong, simple dan bersahaja.  Makin membuat kagum bapak yang satu ini….!!!.

Banyak hal yang saya pelajari dari pak Dais (begitu media biasa memanggilnya) tentang bagaimana menjalani kehidupan, kepemimpinan, membangun usaha bahkan saat beliau mendapat ujian sakit kanker hati.  Dari semua kisah beliau tersebut, satu hal yang berkesan  adalah beliau selalu yakin atas apapun yang dilakukannya.  Beliau tidak pernah berpikir dua kali untuk melakukan sesuatu yang diyakini benar.  Selain itu, beliau pantang menyerah dan putus asa untuk setiap kendala yang menghalangi jalannya.  Dengan cara itulah rasanya beliau mampu menemukan kunci kesuksesannya.

Menurut saya, pak Dais menjadi sosok pemimpin yang dikagumi karena semangat dan kerendahan hatinya.   Beliau bukanlah pemimpin yang menepuk dadanya jika berhasil, namun justru menepuk pundak team-nya untuk menyampaikan penghargaannya.  Lead by example” itulah yang beliau selalu perlihatkan dalam memimpin.  Tidak perlu teriak sampai lelah untuk meminta team menyelesaikan tugasnya, tapi beliau ikut terjun langsung dalam menyelesaikannya agar selanjutnya apa yang beliau lakukan bisa diteladani.

Pak Dais kerap mencatat setiap peristiwa penting yang dialami dan membagikannya kepada yang lain.  Hal ini merupakan salah satu caranya berkomunikasi ke berbagai kalangan, mulai dari level atas hingga bawah tanpa berkesan menggurui atau “sok pintar”.  Siapapun yang membaca tulisannya akan ikut merasakan berada di dalam cerita, karena banyak hal detil yang menjadi pengamatan beliau.  Tidak jarang pula beliau merogoh koceknya sendiri untuk memotivasi team-nya untuk bisa memberikan ide-ide segar yang mampu membawa pembaharuan.

Saya mencoba mencermati dari berbagai media yang memuat kisah atau terkait dengan pak Dais, antara lain dari buku, televisi, koran, majalah, talk show, ataupun seminar untuk bisa mempelajari apa saja yang bisa membuatnya sukses seperti sekarang ini. 

Ada 10 hal yang saya catat dalam upaya mencari “kunci rahasia” kesuksesan seorang Dahlan Iskan.  Catatan tersebut saya beri istilah “Road to Success ala Dahlan Iskan”, karena memang dalam menuju kesuksesannya Pak Dais menempuh jalan yang berliku dan penuh tantangan.

Berikut ini, 10 kunci “Road to Success ala Dahlan Iskan” :

1.     Tuhan dan agama menjadi pondasi dasar pembentukan karakter.

2.    Kepahitan hidup menjadi cambuk dalam mencapai kesuksesan dengan tetap berlandaskan pada rasa syukur.

3.    Melakukan apa yang diyakini benar, tak peduli penilaian orang lain yang meragukannya.

4.    Fact Finding” menjadi dasar pengambilan keputusan, bersedia belajar dari siapapun tanpa “pandang bulu”.

5.    Memiliki visi yang jelas dan actual, namun tak berhenti untuk punya mimpi.

6.    Tegas, konsisten dan berdedikasi terhadap setiap aturan yang dilakukan.

7.    Mulai dari hal kecil, mulai dari diri sendiri dan mulai secepatnya.

8.    Selalu melihat peluang keberhasilan bahkan disituasi tersulit sekalipun.

9.    Memiliki jiwa seorang “entrepreneur”, berani mengambil resiko dengan semboyan “kita tidak akan pernah berhasil jika tidak pernah gagal”.

10.  Mengamalkan prinsip “Ing ngarso sung tulodo, Ing madyo mangun karso, Tut wuri Handayani” (Sebagai pemimpin yang memberi contoh, sebagai partner yang bisa bekerja sama dan sebagai pemberi dukungan dan semangat bagi para team-nya).

Bukan kebetulan rasanya ketika saya membandingkan kunci kesuksesan pak Dais dengan orang sukses lainnya, ternyata mreka memiliki banyak kemiripan.  Rata-rata mereka memiliki ke-10 kunci tersebut dan benar-benar melakukannya.  Saya mungkin saja salah, namun tidak ada salahnya jika kita mencoba menjalankan ke-10 kunci kesuksesan tersebut dalam kehidupan kita.

Apakah kita juga mau sukses? pilihan ada di tangan kita…..

*……ketika realita dan imajinasi bersatu menjadi inspirasi…..*

                                                                                                          -imo3nk, Oct 20, 2012-